Berikut adalah 10 fakta tentang Ahmad Tohari!
1. Tidak Pernah Membayangkan Dirinya Menjadi Seorang Pengarang
Sampai 3 tahun setelah tamat SMA, Ahmad Tohari belum pernah membayangkan dirinya kelak akan menjadi seorang pengarang besar. Ketika di SMA dia mengambil jurusan Ilmu Pasti dan Alam, dan setelah lulus SMA dia masuk fakultas kedokteran (yang karena masalah biaya, dia tidak berhasil tamat kuliah).
2. Gila Membaca Sejak Kecil
Namun, meskipun tidak pernah membayangkan ingin menjadi pengarang, sejak kecil Ahmad Tohari sudah gila membaca. Ketika masih Sekolah Dasar dia sudah menamatkan komik Mahabrata karya R.A. Kosasih sebanyak 48 jilid dan komik Ramayana sebanyak 19 jilid. Ketika duduk di bangku SMP, dia telah membaca semua novel klasik Indonesia dan beberapa karya terjemahan.
3. Menulis Puisi Membuatnya Trauma
Ketika duduk di kelas 2 SMP, Ahmad Tohari pernah mendapatkan pengalaman traumatis ketika mencoba menulis puisi. Saat itu gurunya meminta dia dan teman-temannya mengisi majalah dinding sekolah. Dia pun menulis puisi dan dipajang di mading tersebut. Hasilnya, seorang teman yang membaca puisi tersebut mengatakan bahwa Ahmad Tohari adalah seorang plagiat. Puisinya sama seperti puisi yang temannya baca di sebuah buku. Tentu saja Ahmad Tohari kaget bukan main. Sebab, dia memang tidak melakukan tindakan plagiarisme. “Demi Tuhan saya tidak mencontek karya orang,” ujarnya.
4. Gemar Menulis Surat Cinta
Ketika duduk di bangku SMA, Ahmad Tohari cukup intens menulis surat untuk dikirim kepada teman perempuannya. Dari pengalaman menulis surat itu dia telah belajar bagaimana cara mengungkapkan perasaan dan gagasan ke dalam sebuah tulisan.
5. Menulis untuk Membunuh Rasa Frustasi
Setelah keluar dari fakultas kedokteran pada tahun 1970, Ahmad Tohari berada dalam situasi kalut dan merasa kehilangan harapan. Dalam suasana kalut semacam itu dia pun mulai sering membuat tulisan untuk membunuh rasa frustasi. Puluhan cerpen dan tulisan lainnya pun lahir. Karena desakan beberapa temannya, akhirnya dia mengirim beberapa cerpennya ke sebuah koran kecil. Pada tahun 1971, cerpennya yang berjudul Upacara Kecil pun dimuat di koran kecil tersebut. Tidak cukup sampai di situ, pada tahun 1975, cerpennya yang berjudul Jasa-Jasa buat Sanwira menjadi pemenang harapan lomba cerpen Radio Hilversum, Belanda. Dan pada tahun 1978, novel pertamanya yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, yang kemudian diterbitkan di harian Kompas. Pada tahun 1979, Ahmad Tohari memutuskan untuk menggeluti dunia tulis-menulis secara serius.
6. Tanggung Jawab Sang Pengarang
Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dia tulis selama 5 tahun (1980-1985). Dia mengaku bahwa trilogi RDP dia tulis atas nama pertanggungjawaban moralnya sebagai seorang pengarang, terhadap tragedi besar yang terjadi pada tahun 1965.
7. Pengarang yang Hobi Menulis Ulang
Dalam penulisan cerpen maupun novel, dia hampir selalu melakukan koreksi bahkan sampai harus menulis ulang. Buku pertama trilogi RDP, misalnya, dia tulis ulang sampai tiga kali. Dia menulis ulang dengan mesin tik biasa. Dia sangat senang menulis ulang karena setiap kali melakukannya dia mendapatkan kepuasan baru, yaitu dia jadi bisa menemukan suatu kata yang lebih tepat dan dia bisa menyusunnya menjadi sebuah kalimat yang lebih bagus.
8. Bermula dari Cerita Bersambung
Novel-novelnya, kecuali Kubah dan Belantik, semuanya terbit lebih dulu sebagai cerita bersambung di koran.
9. Ketika Sang Pengarang Mendapat Kritik
Novelnya yang berjudul Kubah sempat mendapat kritik dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Kata Gus Dur, novel tersebut tidak punya kelebihan yang menonjol. Tidak ada ketegangan, alur cerita mudah ditebak, dan terlalu hitam-putih. Selain itu, novel trilogi RDP pun mendapat kritik dari F. Rahardi. Untuk yang terakhir ini, Ahmad Tohari sempat marah terhadap F. Rahardi. Sebab, dalam kritiknya, F. Rahardi menulis begini, “Karena ingin cepat melejit maka dia (Ahmad Tohari) main hantam kromo.”
10. Anak Bungsunya yang Bijak Bestari
Ketika itu anak bungsunya masih duduk di bangku SMA. Kemudian, anak bungsunya itu mendapatkan soal ulangan Bahasa Indonesia yang berbunyi: Siapa pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk? Anak bungsunya itu tidak menjawab soal ulangan tersebut. Ketika ditanya oleh Ahmad Tohari, anak bungsunya itu menjawab, “Soalnya saya khawatir Bapak akan jadi besar kepala.” Ahmad tohari pun tertawa bersama anak bungsunya itu. “Wah, terima kasih, Nak. Kamu sungguh bijak bestari,” ujarnya.
[NHD/Spoila]