
Aan Mansyur sedang membacakan salah satu sajak pada sesi pembukaan Ubud Writers & Readers Festival 2010 | Foto: Ilham Q. Moehiddin
Pada suatu kesempatan, Spoila mengirim direct message ke Twitter Aan Mansyur (@hurufkecil). Aan Mansyur adalah seorang penyair yang puisi-puisinya bisa dibilang kurang ajar sekali indahnya. Lewat pesan itu Spoila berniat mewancarainya. Dalam waktu singkat, penyair itu membalas dan berkenan untuk diwawancara. Dia memberikan alamat emailnya dan Spoila pun melakukan wawancara ini melalui surat elektronik. Berikut isi wawancaranya.
***
Jika wawancara ini dilakukan secara tatap muka, kamu membayangkan wawancara ini sedang berlangsung di mana? Di kedai kopi ketika hujan sedang turun? Di dalam gerbong kereta yang sedang melaju? Atau di mana?
Di pinggir jalan, di dekat rambu lalu lintas bergambar tanda seru. Sore hari, mendung, dan karena itu jangan membayangkan kita akan melihat matahari tenggelam. Kita menunggu angkutan umum jurusan yang sama. Kamu mau pulang dari satu tempat yang saya tidak mau tahu. Saya mau pergi menemui seorang gadis yang baru saya kenal dua minggu lalu. Kami janjian bertemu di sebuah kedai buku yang namanya lebih cocok jadi nama toko roti.
Kamu mengenakan sepatu yang mereknya sama dengan merek sepatu saya. Dan, itulah alasan yang kamu gunakan untuk tiba-tiba memperkenalkan diri dan mengajak saya berbincang.
Kenapa kamu memilih di pinggir jalan? Adakah alasan khusus?
Pertama, saya kurang senang bicara panjang lebar dengan orang yang tidak saya kenal cukup akrab. Saya tidak pandai berbasa-basi, lebih tepatnya. Kedua, saya lebih suka membayangkan ini sebagai obrolan santai daripada wawancara. Sejujurnya, saya tidak suka diwawancarai. Ketiga, saya tidak suka orang bertanya sambil menatap mata saya. Keempat, di pinggir jalan ada banyak hal yang bisa saya gunakan untuk mengalihkan pembicaraan ketika saya tidak suka dengan pertanyaan kamu. Kelima, saya bisa dengan mudah pergi ketika percakapan kita sudah membosankan sehingga saya tidak perlu pura-pura sibuk dengan ponsel.
Oke. Saat ini kita sedang berada di pinggir jalan, di dekat rambu lalu lintas bergambar tanda seru. Sekarang, tolong ceritakan kepada saya tentang masa kecil kamu.
(Tentu saja ini permintaan yang mengejutkan dari orang yang tidak saya kenal, yang kebetulan berdiri di dekat saya di pinggir jalan karena menunggu angkutan umum jurusan yang sama!)
Saya seorang anak laki-laki yang lahir sakit-sakitan karena mendekam lebih dua belas bulan di rahim ibunya. Anak kecil yang menghabiskan lebih banyak waktunya di dekat jendela membayangkan tempat-tempat jauh daripada bermain bersama anak-anak sebaya. Anak pemalu yang lebih banyak bergaul dengan bocah perempuan daripada laki-laki—dan karena itu sering dipanggil banci. Anak pelupa yang sering dihukum di sekolah karena salah membawa buku pelajaran. Anak yang suka membaca koleksi buku kakeknya dan tidak mau tidur sebelum mendengar dongeng dari neneknya yang tidak tahu membaca. Anak pendiam, yang meskipun tinggal bersama ibunya, harus menulis surat ketika mau meminta dibelikan sesuatu. Juara kelas yang benci pelajaran agama, tetapi pernah masuk pesantren—kemudian kabur. Laki-laki kecil yang jatuh cinta kepada seorang gadis teman kelas, anak guru agamanya, tapi tidak mampu mengatakannya dan diam-diam menulis banyak surat cinta untuknya.
Pada usia berapa kamu mulai mencintai buku? Karena apa?
Saya tidak tahu persis saat usia berapa tahun. Tetapi, saya sudah membaca semua buku kakek saya sebelum dia meninggal dunia ketika saya duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Koleksi buku kakek saya tidak banyak. Hanya dua rak kecil.
Kenapa? Karena, sebagai bocah sakit-sakitan, saya tidak mampu dan tidak tahu mau melakukan apa selain membaca.
Buku apa yang pertama kali kamu baca? Masih ingat judulnya?
The Story of My Life-nya Helen Keller dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck-nya HAMKA. Seingat saya, itulah dua buku pertama yang saya baca dan sangat berkesan. Buku kedua membuat saya suka menulis surat dan punya banyak sahabat pena. Buku yang pertama membuat saya selama bertahun-tahun ingin sekali punya pacar seorang gadis bisu.
Pada usia berapa kamu memutuskan untuk menjadi seorang penulis? Tolong ceritakan alasannya.
Cerita-cerita yang saya tulis sudah dimuat di beberapa majalah anak dan remaja sejak saya masih SMP—sebagian saya ambil dari dongeng nenek saya. Tapi, saya memutuskan untuk jadi penulis pada tahun pertama saat kuliah.
Saya bisa menceritakan banyak alasan kenapa saya memilih hidup sebagai penulis. Karena saya pemalas dan tidak mampu bekerja di sawah dan di kantor, misalnya. Tapi, sejujurnya, dulu saya memutuskan jadi penulis karena gadis yang saya taksir waktu itu pernah mengatakan ingin punya pacar seorang penulis. Gadis itu tidak pernah berhasil jadi pacar seorang penulis. Dia pacaran—dan kemudian menikah—dengan seorang pegawai bank swasta yang tidak suka membaca, apalagi menulis.
Apakah kamu menyesal dengan keputusan itu?
Kadang-kadang saya menyesalinya.
Ketika ada sejumlah buku yang ingin sekali saya baca tapi saya tidak punya uang untuk membelinya, saya menyesal. Ketika ibu saya sakit dan saya tidak bisa membantunya membayar biaya rumah sakit, saya menyesal dan sedih. Ketika orang tua pacar saya tidak mau punya menantu seorang penulis, saya menyesal dan sedih dan harus cari pacar baru dan kemudian menulis lebih giat agar orang tua mantan saya menyesal menolak saya.
Menurutmu, apakah menjadi penulis itu sulit?
Sulit dan mudah.
Di Indonesia, menjadi penulis sesungguhnya adalah pekerjaan yang mudah. Tetapi, di negara yang tampaknya semua orang ingin jadi penulis tetapi tidak mau jadi pembaca ini, menjadi penulis yang bagus adalah pekerjaan yang sangat sulit.
Saya mengenalmu sebagai seorang penyair—meskipun kamu juga menulis beberapa prosa. Saya ingin tahu, apa arti puisi bagi hidupmu?
Hmm, para sopir angkutan umum betul-betul melakukan aksi mogok ya?
Puisi bagi saya ibarat kekasih yang senang bertanya dan senang jika pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan, kekasih yang selalu ingin hidup dalam ketidakpastian, kekasih yang selalu meyakini keraguan-keraguannya.
Puisi-puisi kamu sederhana. Kata-kata dan metafora yang kamu pilih terasa begitu akrab dengan kehidupan sehari-hari. Namun, ternyata kesederhanaan yang kamu tampilkan itu menyimpan keindahan yang begitu memukau. Apa rahasianya?
Saya tinggal di Makassar. Ibu saya yang hanya tamat SMP dan pemalu tinggal di Balikpapan. Kami jarang bertemu. Kadang hanya dua atau tiga tahun sekali. Sebelum menikah dengan mendiang ayah saya, ibu saya punya pacar yang suka menulis puisi. Puisi-puisi yang saya tulis pertama-tama saya tujukan kepada ibu saya. Dia adalah pembaca pertama nyaris semua puisi saya. Setiap usai menulis puisi, saya mengirimkannya melalui fasilitas layanan pesan singkat. Kadang saya menelpon dan membacakan satu atau dua puisi untuknya. Ketika dia mengirim SMS bertanya ‘apakah kamu sudah berhenti menulis puisi?’, itu artinya dia rindu.
Serumit apa pun hal yang mau saya katakan dalam puisi, saya selalu membayangkan pembaca saya sedekat dan sejauh ibu saya. Saya tidak mau menambah rumit hidup ibu saya dengan menggunakan bahasa-bahasa yang rumit di puisi-puisi saya. Tetapi, saya suka membayangkan ibu saya menebak-nebak apa yang hendak saya ungkapkan. Makanya, ketimbang melakukan akrobat bahasa, saya memilih menata interior puisi saya. Saya sebisa mungkin memilih bahasa yang sederhana, tapi memungkinkan saya untuk menata lapisan-lapisan makna di baliknya.
Dari mana kamu belajar menulis?
Dari dongeng nenek saya dan buku-buku kakek saya—juga dari buku-buku yang saya baca kemudian. Dari sifat pemalu dan pendiam ibu saya. Dari mantan pacar ibu saya yang suka menulis puisi yang kemudian menjadi sahabat saya yang dulu sering membelikan saya buku dan memaksa saya menulis. Dari surat-surat yang saya kirim kepada sahabat-sahabat pena saya dan ketakutan saya kehilangan mereka. Dari kemalangan masa kecil saya dan dari ketidakmampuan saya menemukan cara lain untuk menyatakan pertanyaan-pertanyaan saya.
Jika kamu memiliki kekuatan yang bisa menghidupkan orang mati, siapakah sastrawan klasik yang ingin kamu angkat dari kuburnya untuk kemudian kamu pukuli berkali-kali, sebab kamu menganggap karya-karya yang ditulis oleh orang itu betul-betul menakjubkan?
Saya tidak pernah memikirkan hal semacam ini sebelumnya. Saya tidak suka bertemu dengan penulis yang saya suka karya-karyanya. Kadang-kadang saya bahkan punya keinginan jahat agar penulis yang saya suka karya-karyanya mati saja supaya dia tidak lagi menulis karya yang kualitasnya tidak lebih baik dari sebelumnya.
Tapi, jika saya memiliki kemampuan semacam itu saya ingin menghidupkan Sylvia Plath. Tidak, saya tidak ingin memukulinya. Saya ingin mengajaknya minum kopi setiap hari dan mencegahnya bunuh diri dua kali—apalagi dengan cara meledakkan kepala di oven—dan menikahinya. Saya suka puisi-puisi Plath, dan dia cantik.
Tolong sebutkan satu kata yang paling kamu benci, dan kamu berharap agar kata itu segera dicoret dari dalam daftar Kamus Besar Bahasa Indonesia
Sisir.
Jika ada beberapa orang yang sedang menodongkan ujung pistolnya di depan kepala kamu supaya kamu tidak usah menulis lagi, apakah kamu masih ingin tetap terus menulis?
Bukan, saya bukan tipe penulis yang sebegitu kecanduannya menulis sehingga tetap menulis di hadapan todongan pistol. Bahkan ketika punya waktu luang pun saya kadang lalai menulis. Saya sering melanggar janji dan rencana saya untuk menulis. Saya penulis yang malas menulis—dan saya benci itu.
Saya mungkin meminta si kurang ajar kurang kerjaan itu meletakkan pistolnya dan menawarinya kopi. Saya akan mengajaknya berbincang. Tentang masa kecilnya atau kisah cintanya yang malang atau apa saja. Siapa tahu ceritanya menarik untuk bahan novel.
Atau, jika ceritanya kurang menarik, mungkin saya akan bilang kepadanya bahwa jauh lebih menarik jika dia menodongkan pistolnya ke kepala para koruptor!
Buku apa yang saat ini sedang berada di dalam tasmu? Apakah buku itu bagus?
Di tas saya ada laptop dan ada cukup banyak e-book di dalamnya. Tapi, saya kira, bukan itu maksud kamu.
Ada tiga buku di tas saya sekarang. Novel Italo Calvino, If on a Winter’s Night a Traveller, (buku ini sudah lebih 3 bulan ada di tas saya dan sudah 2 kali saya baca), kumpulan cerita pendek Yukio Mishima, Death in Midsummer, (saya baru selesai membaca 6 dari 10 cerpen di dalamnya), dan Collected Poems: 1909-1935 karya T.S. Elliot. Buku terakhir itu memang senang saya bawa ke mana-mana dan saya tidak pernah bosan membacanya.
Tentu saja bagus dan saya pikir kamu juga harus membaca buku-buku tersebut. Jika kamu pernah membacanya, bacalah lagi dan lain kali kita bertemu dan membincangkannya di tempat lain bukan di pinggir jalan seperti ini.
Siapa penulis Indonesia yang kamu anggap sebagai saingan terberatmu saat ini? Kenapa?
Disebut saingan sih tidak. Menurut saya setiap penulis mestinya berusaha membangun puncaknya masing-masing. Tidak perlu berusaha dan memaksa diri mendaki puncak penulis lain.
Saya suka penulis yang bisa menulis dengan bagus, tapi lebih dari itu saya juga membencinya. Itulah kenapa saat ini saya sangat kesal kepada Eka Kurniawan. Menurut saya, dia menyebalkan karena selalu berhasil menulis sesuatu yang jauh di atas kemampuan saya.
Pertanyaan terakhir. Apakah kamu memiliki pertanyaan besar dalam hidupmu yang sampai sekarang kamu belum menemukan jawabannya? Kalau ada, pertanyaan apakah itu?
Hidup saya selalu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan kecil. Hampir setiap pagi saya membuat daftar pertanyaan—sebagian di antaranya tidak terjawab dan saya biarkan saja seperti itu. Tadi pagi, misalnya, saya menulis pertanyaan seperti ini: Kenapa Badak dan Naga lebih senang menyentuh hidung saya daripada kening saya? Badak dan Naga itu nama kucing saya.
Oke. Senang berbincang-bincang dengan kamu. Sampai jumpa.
Hmm, tunggu, apakah saya boleh nebeng? Siapa tahu di taksi kita bisa lanjut ngobrol.
Kenapa tidak? Ayo, kita lanjutkan obrolan ini di dalam taksi.[NHD/Spoila]
Menarik!
LikeLike
brengsek! lelaki ringkih ini, cuma njawab wawancara saja kata-katanya tetap memukau
LikeLike
Yang wawancara brengsek juga gak? 😀
LikeLike
Ngahahaha!
LikeLike
bahkan wawancara saja semenarik ini *terpukau*
LikeLike